Tawa itu kian keras, berhasil memekakkan telinga. Helaan napas kasar
terhembus dari bibir tipisnya. Ia letakkan pensil di atas mejanya dengan
keras, mata merahnya memandang tidak suka pada sosok biru yang tengah
tertawa terbahak-bahak di depan televisi yang ia sama sekali tidak tahu
acara apa yang disajikan dalam saluran yang ditontonnya.
"Bisakah kau tidak tertawa seperti itu!? Aku sedang belajar, anak bau!"
Menunjukkan sinar tidak suka, sang biru menatap kesal pada sang merah.
"Kakak cerewet! Aku tidak tertawa sekeras yang kakak kira! Apa kuping
kakak sudah banyak kotorannya, hah!?" ucapnya sarkatik.
Perempatan imager sukses terlihat di keningnya. Mata merah miliknya
mendelik tajam pada sang biru yang diketahui adalah adiknya itu.
"Seenaknya saja kau bicara, anak bau! Setiap hari aku bersihkan
kupingku, aku tidak sepertimu yang malas mencuci sepatu selama hampir
sebulan," geramnya.
Sang biru kepalkan tangannya, bersiap melempar tinju kapan saja jika ia sudah sampai batasnya. "Kau menantangku, kakak naif!?"
"Siapa takut! Aku tidak akan kalah darimu!"
Dan kemudian yang ditemukan oleh ibu dari kakak beradik itu adalah
kondisi ruang tengah bagaikan kapal pecah dengan kedua bersaudara itu
dipenuhi luka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar